Para  guru merupakan komponen utama untuk mewujudkan pendidikan yang   berkualitas. Mereka harus mampu mandiri untuk memberdayakan dirinya   sendiri. Tanpa itu, peserta didik (baca: siswa) akan tertinggal oleh   perkembangan zaman. Pada akhirnya, kondisi itu akan mengganggu   kesejahteraan bangsa pada waktu yang akan datang. Itulah penggalan isi   berita Kompas cetak kemarin (Senin, 28 Maret 2011). Berita itu menyoroti masalah kemandirian guru Indonesia.
 Sebagai  seorang guru, banyak hal harus dikuasai agar mampu menjadi  panutan atau  teladan bagi peserta didik, lingkungan, dan bangsa. Karena  itu, tak  henti-hentinya, aku selalu mengajak diri dan orang lain, “Marilah   kita menjadi guru yang benar-benar profesional. Guru yang menghayati   profesinya demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.”
 Namun,  apatah upaya itu dilakukan oleh seorang ini. Begitu banyak  masalah  dihadapi dunia pendidikan. Dan masalah itu dapat berawal dari  guru.  Maka, aku berusaha mengurai masalah yang berkaitan dengan guru.  Ada lima  masalah yang menjadi penghambat kemajuan pendidikan kita.  Kelima  masalah itu adalah kehilangan jiwa pengabdian, keengganan untuk  menimba  ilmu, terasuki jiwa konsumerisme, mental pengemis, dan gemar  berkhayal.  Inilah pembahasannya.
 Masalah 1: Kehilangan Jiwa Pengabdian
 Guru  tidak lagi menjadi panutan. Banyak hal yang membuktikan bahwa  perilaku  guru tidak layak dilakukan seorang guru, baik perilaku dalam  sekolah  maupun di luar sekolah. Ketidaklayakan perilaku guru di sekolah  terlihat  dari hilangnya roh atau jiwa pengabdian. Banyak guru enggan  mengajar  dan mendidik peserta secara penuh. Mereka sering menerapkan  metode CTL (Catat Tinggal Lari). Mereka sudah menghilangkan dan kehilangan jiwa pengabdiannya tanpa permisi.
 Ini  adalah masalah krusial. Bagaimana mungkin peserta didik akan  menjadi  cerdas jika gurunya enggan mendidiknya? Peserta didik hanya  diberi LKS (Lembar Kegiatan Siswa). Usai itu, guru memberikan tugas kepadanya. Lalu, guru itu pergi dan tak kembali. Aduh, mental guru ini benar-benar bobrok. Apakah guru yang bermental demikian masih ada? Masih dan banyak sekali. Mau bukti?
 Suatu  hari, aku akan mengajar ke suatu kelas. Usai terdengar bel  pergantian  jam mengajar, aku berpindah kelas tanpa istirahat. Mengapa?  Jarak kelas  dengan ruang guru agak jauh. Jadi, aku berusaha menghemat  waktu dan  tenaga. Lebih baik aku terus mengajar ke kelas lain. Kondisi  fisikku pun  masih terjaga keprimaannya.
 Ketika aku tiba di kelas tujuan, aku mendapati beberapa buku di meja guru. Lalu, aku bertanya kepada murid, “Ini bukunya siapa?”
 Lalu, sontak mereka menjawab, “Bukunya Bu Guru X!”
 Aku  heran. Sepintas, aku tadi melihat bu guru itu sedang berleha-leha  di  lain. Jadi, ternyata anak-anak ditinggali buku saja. Anak-anak  disuruh  belajar mandiri. Sementara, gurunya justru pergi. Dengan nada  guyonan,  aku berujar, “Ya sudah. Memang gurumu bermental begitu!” Dan  anak-anak  pun tertawa riuh. Ya, anak-anak memang sudah begitu paham  dengan  kelakuan guru itu. Jadi, mereka tidak kaget lagi!
 Masalah 2: Keengganan Menimba Ilmu
 Ilmu  itu dapat diibaratkan air laut. Begitu terminum, bukan hausnya  hilang.  Namun, rasa haus justru akan terus terasa. Mencari ilmu pun  demikian.  Begitu dikaji dan diteliti, ilmu akan menampakkan kita  sebagai pribadi  yang bodoh. Semakin dikaji mendalam, dasar ilmu itu  justru menjadi  semakin dalam. Maka, betapa mulianya orang yang getol  dan gemar mencari  ilmu meskipun berusia senja. Dan semangat itu harus  dimiliki profesi  guru.
 Aku  sudah terlalu sering mengajak rekan-rekan guru agar sekolah atau  kuliah  lagi. Aku sudah memberikan contoh-contoh konkret bahwa tidak ada  orang  menjadi miskin karena rajin mencari ilmu. Namun, jawaban  rekan-rekan  guru selalu sama: tidak punya uang. Dan alasan itu terasa mengherankan dan membuat terheran-heran. Mengapa?
 Untuk  membeli motor, mereka berani kredit hingga 10 tahun. Untuk  membeli HP  baru, mereka berani berhutang ke koperasi sekolah. Untuk  membangun  rumah, mereka berani menggadaikan sertifikat. Namun, semangat  berkorban  itu tidak digunakan untuk mencari ilmu. Sungguh teramat  ironis. Jika  guru tidak bersemangat mencari ilmu, bagaimana mungkin  siswanya juga  bersemangat untuk mencari ilmu? Bukankah guru harus  menjadi panutan dan  atau teladan?
 Masalah 3: Terasuki Jiwa Konsumerisme
 Tunjangan  seritifikasi ternyata tidak berdampak positif kepada  peningkatan mutu  pendidikan. Tunjangan sertifikasi hanya berdampak pada  aspek  nonpendidikan, seperti peningkatan kesejahteraan guru. Ternyata,  kondisi  ini disebabkan oleh jiwa konsumerisme guru. Bagaimana aku   mengetahuinya?
 Tunjangan  satu kali gaji pokok lumayan besar juga. Aku mendapatkan gaji  rerata  dari semula Rp 3 juta menjadi Rp 5 juta per bulannya. Dan aku  masih  menempatkan tunjangan profesi itu secara utuh di bank. Mengapa  tidak  kuambil? Aku mempunyai alasan tersendiri.
 Pemerintah memberikan tunjangan profesi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Jadi, tunjangan itu seharusnya  digunakan untuk membantu guru yang mengalami kesulitan ketika berusaha   meningkatkan profesionalismenya. Apa saja itu? Kemiskinan laptop,   ketiadaan sarana dan media pembelajaran, dan penelitian. Jadi,   pemerintah memang baik dan berniat baik. Namun, lagi-lagi guru bermental   buruk. Apa itu? Mereka berjiwa konsumerisme.
 Uang  tunjangan profesi digunakan banyak guru untuk membeli kebutuhan di  luar  kebutuhan pendidikan. Mereka membelanjakan uang itu justru untuk   kepentingan non pendidikan. Maka, aku sering menyebut kondisi itu   sebagai pengkhianatan profesi.
 Masalah 4: Mental Pengemis
 Namanya  saja nafsu selalu saja mengajak manusia untuk meminta dan  meminta.  Nafsu memang menggiring manusia ke jiwa serakah, tamak,  dengki, dan iri.  Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah. Dan jiwa itu pun dimiliki para guru. Mereka bermental pengemis.
 Teramat  jarang guru mempunyai kegemaran memberi. Baginya, memberikan  ilmu yang  dimilikinya sudah dianggap cukup. Maka, terlihatlah guru-guru  yang rakus  di sekolah. Mereka masih berjualan buku, LKS, alat peraga,  iuran  praktik, dan pungutan-pungutan lain. Ah, tidak akan habis untuk  membahas  kondisi buruk ini.
 Masalah 5: Gemar Berkhayal
 Bagi  si kecil, kita harus menumbuhkan imajinasi positif agar mereka   terangsang menjadi insan kreatif. Mereka harus dibuai oleh   khayalan-khalayan indah. Betapa enaknya jadi presiden atau menteri.   Kemana-mana selalu dikawal. Betapa enaknya jadi pilot. Mampu   menerbangkan pesawat di angkasa nan luas. Namun, khayalan itu seharusnya dihindari guru. Mengapa?
 Guru  yang gemar mengkhayal akan terjerumus dan menjerumuskan diri ke  jurang  kesengsaraan. Keinginannnya begitu besar, tetapi kemampuannya  begitu  kecil. Mereka ingin tampil necis, tetapi isi kantong begitu  tipis. Maka,  satu-satunya jalan adalah kredit bank. Dan ini adalah awal petaka.
 Demi  menurutkan keinginan, banyak guru rela menggadaikan SK untuk  mencari  pinjaman. Bank tentu saja menuruti keinginan itu. Mengapa?  Tentu PNS  tidak mungkin mangkir atau menjadi kredit macet. Dan ini  adalah bentuk  perwujudan khayalan itu. Guru sudah kehilangan gaji  selama 5-10 tahun.  Dan kondisi itu menjadi tragedy dunia pendidikan.  Mengapa? Guru tidak  lagi bergairah karena kehilangan penghasilan.
 Begitulah,  Pak Mendiknas, renungan pagi ini berkenaan dengan isi  berita. Mari Pak  Mendiknas, kita mengubah mental-mental guru itu secara  bersinergi.  Sejujurnya, Pak Mendiknas, aku trenyuh alias malu  melihat mental  guru-guru itu. Terserah Bapak sajalah, bagaimana aku  harus membantu  mengubah keadaan itu. Terima kasih Bapak (semoga)  berkenan membaca  tulisan ini.
 Semoga bermanfaat. Amin. Terima kasih.
sumber:
 http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/29/pak-mendiknas-beginilah-wajah-sebagian-guru-kita/
 
