Minggu, 03 April 2011

Beginilah Wajah (sebagian) Guru Kita

Para guru merupakan komponen utama untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Mereka harus mampu mandiri untuk memberdayakan dirinya sendiri. Tanpa itu, peserta didik (baca: siswa) akan tertinggal oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya, kondisi itu akan mengganggu kesejahteraan bangsa pada waktu yang akan datang. Itulah penggalan isi berita Kompas cetak kemarin (Senin, 28 Maret 2011). Berita itu menyoroti masalah kemandirian guru Indonesia.
Sebagai seorang guru, banyak hal harus dikuasai agar mampu menjadi panutan atau teladan bagi peserta didik, lingkungan, dan bangsa. Karena itu, tak henti-hentinya, aku selalu mengajak diri dan orang lain, “Marilah kita menjadi guru yang benar-benar profesional. Guru yang menghayati profesinya demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.”
Namun, apatah upaya itu dilakukan oleh seorang ini. Begitu banyak masalah dihadapi dunia pendidikan. Dan masalah itu dapat berawal dari guru. Maka, aku berusaha mengurai masalah yang berkaitan dengan guru. Ada lima masalah yang menjadi penghambat kemajuan pendidikan kita. Kelima masalah itu adalah kehilangan jiwa pengabdian, keengganan untuk menimba ilmu, terasuki jiwa konsumerisme, mental pengemis, dan gemar berkhayal. Inilah pembahasannya.
Masalah 1: Kehilangan Jiwa Pengabdian
Guru tidak lagi menjadi panutan. Banyak hal yang membuktikan bahwa perilaku guru tidak layak dilakukan seorang guru, baik perilaku dalam sekolah maupun di luar sekolah. Ketidaklayakan perilaku guru di sekolah terlihat dari hilangnya roh atau jiwa pengabdian. Banyak guru enggan mengajar dan mendidik peserta secara penuh. Mereka sering menerapkan metode CTL (Catat Tinggal Lari). Mereka sudah menghilangkan dan kehilangan jiwa pengabdiannya tanpa permisi.
Ini adalah masalah krusial. Bagaimana mungkin peserta didik akan menjadi cerdas jika gurunya enggan mendidiknya? Peserta didik hanya diberi LKS (Lembar Kegiatan Siswa). Usai itu, guru memberikan tugas kepadanya. Lalu, guru itu pergi dan tak kembali. Aduh, mental guru ini benar-benar bobrok. Apakah guru yang bermental demikian masih ada? Masih dan banyak sekali. Mau bukti?
Suatu hari, aku akan mengajar ke suatu kelas. Usai terdengar bel pergantian jam mengajar, aku berpindah kelas tanpa istirahat. Mengapa? Jarak kelas dengan ruang guru agak jauh. Jadi, aku berusaha menghemat waktu dan tenaga. Lebih baik aku terus mengajar ke kelas lain. Kondisi fisikku pun masih terjaga keprimaannya.
Ketika aku tiba di kelas tujuan, aku mendapati beberapa buku di meja guru. Lalu, aku bertanya kepada murid, “Ini bukunya siapa?”
Lalu, sontak mereka menjawab, “Bukunya Bu Guru X!”
Aku heran. Sepintas, aku tadi melihat bu guru itu sedang berleha-leha di lain. Jadi, ternyata anak-anak ditinggali buku saja. Anak-anak disuruh belajar mandiri. Sementara, gurunya justru pergi. Dengan nada guyonan, aku berujar, “Ya sudah. Memang gurumu bermental begitu!” Dan anak-anak pun tertawa riuh. Ya, anak-anak memang sudah begitu paham dengan kelakuan guru itu. Jadi, mereka tidak kaget lagi!
Masalah 2: Keengganan Menimba Ilmu
Ilmu itu dapat diibaratkan air laut. Begitu terminum, bukan hausnya hilang. Namun, rasa haus justru akan terus terasa. Mencari ilmu pun demikian. Begitu dikaji dan diteliti, ilmu akan menampakkan kita sebagai pribadi yang bodoh. Semakin dikaji mendalam, dasar ilmu itu justru menjadi semakin dalam. Maka, betapa mulianya orang yang getol dan gemar mencari ilmu meskipun berusia senja. Dan semangat itu harus dimiliki profesi guru.
Aku sudah terlalu sering mengajak rekan-rekan guru agar sekolah atau kuliah lagi. Aku sudah memberikan contoh-contoh konkret bahwa tidak ada orang menjadi miskin karena rajin mencari ilmu. Namun, jawaban rekan-rekan guru selalu sama: tidak punya uang. Dan alasan itu terasa mengherankan dan membuat terheran-heran. Mengapa?
Untuk membeli motor, mereka berani kredit hingga 10 tahun. Untuk membeli HP baru, mereka berani berhutang ke koperasi sekolah. Untuk membangun rumah, mereka berani menggadaikan sertifikat. Namun, semangat berkorban itu tidak digunakan untuk mencari ilmu. Sungguh teramat ironis. Jika guru tidak bersemangat mencari ilmu, bagaimana mungkin siswanya juga bersemangat untuk mencari ilmu? Bukankah guru harus menjadi panutan dan atau teladan?
Masalah 3: Terasuki Jiwa Konsumerisme
Tunjangan seritifikasi ternyata tidak berdampak positif kepada peningkatan mutu pendidikan. Tunjangan sertifikasi hanya berdampak pada aspek nonpendidikan, seperti peningkatan kesejahteraan guru. Ternyata, kondisi ini disebabkan oleh jiwa konsumerisme guru. Bagaimana aku mengetahuinya?
Tunjangan satu kali gaji pokok lumayan besar juga. Aku mendapatkan gaji rerata dari semula Rp 3 juta menjadi Rp 5 juta per bulannya. Dan aku masih menempatkan tunjangan profesi itu secara utuh di bank. Mengapa tidak kuambil? Aku mempunyai alasan tersendiri.
Pemerintah memberikan tunjangan profesi untuk meningkatkan profesionalisme guru. Jadi, tunjangan itu seharusnya digunakan untuk membantu guru yang mengalami kesulitan ketika berusaha meningkatkan profesionalismenya. Apa saja itu? Kemiskinan laptop, ketiadaan sarana dan media pembelajaran, dan penelitian. Jadi, pemerintah memang baik dan berniat baik. Namun, lagi-lagi guru bermental buruk. Apa itu? Mereka berjiwa konsumerisme.
Uang tunjangan profesi digunakan banyak guru untuk membeli kebutuhan di luar kebutuhan pendidikan. Mereka membelanjakan uang itu justru untuk kepentingan non pendidikan. Maka, aku sering menyebut kondisi itu sebagai pengkhianatan profesi.
Masalah 4: Mental Pengemis
Namanya saja nafsu selalu saja mengajak manusia untuk meminta dan meminta. Nafsu memang menggiring manusia ke jiwa serakah, tamak, dengki, dan iri. Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah. Dan jiwa itu pun dimiliki para guru. Mereka bermental pengemis.
Teramat jarang guru mempunyai kegemaran memberi. Baginya, memberikan ilmu yang dimilikinya sudah dianggap cukup. Maka, terlihatlah guru-guru yang rakus di sekolah. Mereka masih berjualan buku, LKS, alat peraga, iuran praktik, dan pungutan-pungutan lain. Ah, tidak akan habis untuk membahas kondisi buruk ini.
Masalah 5: Gemar Berkhayal
Bagi si kecil, kita harus menumbuhkan imajinasi positif agar mereka terangsang menjadi insan kreatif. Mereka harus dibuai oleh khayalan-khalayan indah. Betapa enaknya jadi presiden atau menteri. Kemana-mana selalu dikawal. Betapa enaknya jadi pilot. Mampu menerbangkan pesawat di angkasa nan luas. Namun, khayalan itu seharusnya dihindari guru. Mengapa?
Guru yang gemar mengkhayal akan terjerumus dan menjerumuskan diri ke jurang kesengsaraan. Keinginannnya begitu besar, tetapi kemampuannya begitu kecil. Mereka ingin tampil necis, tetapi isi kantong begitu tipis. Maka, satu-satunya jalan adalah kredit bank. Dan ini adalah awal petaka.
Demi menurutkan keinginan, banyak guru rela menggadaikan SK untuk mencari pinjaman. Bank tentu saja menuruti keinginan itu. Mengapa? Tentu PNS tidak mungkin mangkir atau menjadi kredit macet. Dan ini adalah bentuk perwujudan khayalan itu. Guru sudah kehilangan gaji selama 5-10 tahun. Dan kondisi itu menjadi tragedy dunia pendidikan. Mengapa? Guru tidak lagi bergairah karena kehilangan penghasilan.
Begitulah, Pak Mendiknas, renungan pagi ini berkenaan dengan isi berita. Mari Pak Mendiknas, kita mengubah mental-mental guru itu secara bersinergi. Sejujurnya, Pak Mendiknas, aku trenyuh alias malu melihat mental guru-guru itu. Terserah Bapak sajalah, bagaimana aku harus membantu mengubah keadaan itu. Terima kasih Bapak (semoga) berkenan membaca tulisan ini.
Semoga bermanfaat. Amin. Terima kasih.
sumber:
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/29/pak-mendiknas-beginilah-wajah-sebagian-guru-kita/

Sabtu, 02 April 2011

Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar


UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.
Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.
Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.
Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.
Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".
Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"
Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.
Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.
Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.
Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.
Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa.
Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.
Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar. Semoga
Sumber : http://penulisbatusangkar.blogspot.com/

GURU JABATAN PROFESIONAL


Dalam rangka pencapaian hasil dan proses pembelajaran seperti yang diharapkan, maka upaya pertama yang harus dilakukan adalah memposisikan guru sebagai pekerja yang profesional, mengapa demikian?. Sebab banyak orang termasuk guru sendiri yang meragukan bahwa jabatan guru merupakan jabatan profesional. Ada yang beranggapan bahwa setiap orang bisa menjadi guru. Si Mul, si Didik, atau Si Jubed, walaupun mereka tidak memahami ilmu keguruan dapat saja dianggap sebagai guru, asalkan paham materi pelajaran yang akan diajarkannya. Apakah pandangan seperti itu benar?.
Apabila mengajar dianggap hanya sebagai proses penyampaian materi pelajaran, pendapat semacam itu ada benarnya. Konsep mengajar yang demikian, tentunya sangat sederhana, yaitu asal paham informasi yang akan diajarkannya kepada siswa, maka ia dapat menjadi guru. Tetapi mengajar tidak sesederhana itu bukan?. Mengajar tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi suatu proses mengubah perilaku siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Oleh sebab itu dalam poses mengajar terdapat kegiatan membimbing, melatih keterampilan intelektual, keterampilan psikomotorik, dan memotivasi siswa agar memiliki kemampuan inovatif dan kreatif. Oleh karena itu seorang guru perlu memiliki kemampuan merancang dan mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap cocok dengan materi pembelajaran, termasuk di dalamnya memanfaatkan bebagai sumber dan media pembelajaran untuk menjamin efektifitas pembejaran. Dengan demikian, seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, yaitu kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain yang bukan guru. “A teacher is person charged with the responbility of helping others to learn and to behave in new different ways”.
Maju pendidikan Kabupaten Banyumas

TIPE-TIPE ANAK DIDIK


Anak didik merupakan “bahan baku” pendidikan. Dialah yang menjadi bahan mentah untuk dikembangkan kompetensi emosional, intelektual dan keahliannya.
Menjadikan mereka anak-anak yang sukses dalam belajar dan kehidupan merupakan tugas mulia guru. Agar usaha mencapai hasil optimal, setiap guru perlu memahami potensi yang dimiliki oleh anak didik.
Sebagai manusia, setiap anak memiliki potensi belajar beragam. Ada yang mudah dan ada pula yang perlu usaha ekstra. Oleh karena itu, tipe-tipe anak didik berdasarkan potensinya perlu dikenali dengan baik.
Secara sederhana, potensi anak didik dapat dicermati berdasarkan dua aspek. Aspek tersebut adalah kesiapan mental dan kecerdasannya. Kesiapan mental biasanya tampak pada kemandirian anak. Sementara kecerdasan umumnya tampak pada daya serap anak terhadap suatu kompetensi.
Atas dasar itu, tipe-tipe anak didik dapat dipetakan sebagaimana bagan berikut.
1. Tipe Cerdas
Ini adalah tipe siswa yang paling mudah diajar. Mereka memiliki tingkat kemandirian dan sekaligus daya serap tinggi.
Mendidik anak tipe ini sangat mudah bagi guru. Kemandirian dan kecerdasannya bahkan menjadikan guru tidak perlu mengajar, karena anak memiliki minat dan kemampuan belajar secara mandiri.
Tipe seperti ini kadang ada karena faktor bawaan, tetapi tidak jarang sebagai hasil bentukan lingkungan baik karena pola asuh orang tua maupun pembelajaran kepribadian di sekolah.
2. Tipe Pintar
Ini adalah tipe anak didik pada umumnya. Meski bukan anak cerdas secara kognitif, tetapi dia memiliki kesiapan mental, berupa kemandirian, dan minat belajar tinggi.
Tipe ini umumnya menjadi siswa yang berhasil dalam belajar maupun dalam hidupnya. Modalitas mental dan kemandirian yang memadai menjadikan anak mampu mengatasi berbagai masalah belajar.
Pada anak seperti ini, tugas guru adalah membelajarkan mengenai cara belajar efektif dan berbagai trik pembelajaran. Meski tidak secepat anak cerdas, anak pintar sering kali dapat sesukses anak cerdas.
3. Tipe Aktif
Ini adalah tipe anak didik yang relatif membutuhkan keahlian dan tenaga ekstra dari guru. Anak seperti ini pada dasarnya cerdas, tetapi kurang memiliki kesiapan mental (kecerdasan emosi).
Anak tipe ini biasanya banyak ulah, banyak kemauan, dan agak egois. Ini terjadi karena ketidakseimbangan kecerdasan pikir dan emosinya, sehingga tersublimasikan ke dalam sikap dan perilaku aktif, atraktif dan semau gue.
Banyak guru dan orang tua salah mempersepsikan mereka sebagai anak nakal. Padahal sangat boleh jadi sebenarnya mereka anak yang terlalu cerdas daya pikirnya. Bahkan tokoh-tokoh besar yang terlahir dengan kondisi seperti mereka.
Anak seperti ini membutuhkan guru yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan memiliki keahlian bidang pembinaan kecerdasan emosi. Keberhasilan membentuk kembali emosi anak merupakan kunci keberhasilan belajar.
4. Tipe Sulit
Ini adalah tipe anak didik yang membutuhkan guru berkeahlian ganda. Ini dikarenakan problem belajar anak terletak pada dua aspek fundamental, yakni kesiapan mental dan kecerdasan sekaligus.
Untungnya, anak tipe ini semakin jarang ditemukan saat ini. Kualitas gizi yang dikonsumsi orang tua saat hamil dan anak semasa kecil makin baik, hingga jumlah anak seperti ini semakin sedikit.
Guru berkeahlian khusus diperlukan agar minat anak terbangun seperti anak tipe pintar. Bila hasil pembelajaran kognitifnya tidak sebaik anak yang lain, maka peluang untuk membuatnya sukses harus digali dari potensi-potensinya yang lain.
Setiap anak memiliki potensi kecerdasannya sendiri. Anak pasti memiliki kelebihan (kecerdasan) di bidang tertentu. Untuk itu, diperlukan kerja sama antara guru dan wali murid agar potensi anak dapat digali dan dikembangkan lebih optimal.
Salam pendidikan..
Maju terus pendidikan  Kabupaten Banyumas.